Kediri: Sahur Bersama Bapak-Ibu Mardi

Lompat nyaris dua puluh tahun dari puasa godaan madu di Trawas itu, saya berpuasa di kota Kediri. Saya kerja di sebuah lembaga kursusan (sebut saja EF Nusantara Kediri). Kerja saya mestinya sore sampai malam. Tapi, saking gemar bekerjanya saya dan Widi, kawan sekampus yang mengajak saya melamar ke EF, kami selalu berangkat ke kursus jam 10 pagi. Kami baru pulang dari EF sekitar jam 9 malam. Di hari-hari biasa, kami nyaris selalu makan bersama. Makan siang di tempat kerja dan makan malam di salah satu warung sekitar jalan Letjen Sutoyo itu sepulang ngajar. Sarapan kami kadang bersama kadang sendiri.

Tapi, jadwal makan kami berubah saat masuk Ramadhan. Meskipun kami tinggal di satu tempat kos (yang pengekosnya hanya saya dan Widi), jadwal sarapan dan makan siang kami berbeda. Saya puasa dan Widi tidak puasa, dia Katolik. Dia jadi harus cari sarapan dan makan siang sendiri tapi makan malam sering beli bareng waktu maghrib. Jam Ramadhan di EF juga berubah ketika bulan puasa, jadi kami ada kesempatan makan bersama.

Satu hal yang menurut saya tidak biasa adalah sarapan saya. Ketika pertama kali berpuasa di Kediri, pagi-pagi jam 3 saya keluar rumah dan baru kembali menjelang subuh. Saya beli makan di sebuah warung di arah barat dari tempat kursus. Dari kos, saya harus jalan beberapa ratus meter. Pada hari kedua puasa, sepulang dari membeli makan malam, saya ketemu Bapak dan Ibu Kos.

Sebelumnya, saya perlu menyela dulu dengan profil Bapak-Ibu kos saya. Mereka adalah pasangan usia senja yang sangat halus budi. Pak Mardi seorang kepala sekolah (di sebuah SMP swasta di Kediri) dan Bu Mardi adalah pegawai Rumah Sakit Umum Kediri. Mereka punya putra dan putri yang sudah dewasa dan berubah tangga, tinggal di Jakarta atau sekitarnya. Jadi, praktis di rumah itu hanya mereka berdua plus saya dan Widi.

Nah, kembali ke subuh ketiga pak Mardi dan Bu Mardi memergoki saya habis balik dari beli nasi itu, terjadilah perbincangan ini:

Pak Mardi: Dari mana dik?
Saya: Dari sahur, Pak.
Bu Mardi: Di mana?
Saya: Di warung dekat perempatan itu, Bu.
Bu Mardi: Lho, kok jauh.
Saya: Tidak, Bu.
Bu Mardi: Besok sahurnya di rumah saja.
Saya: Wah, jangan repot-repot, Bu.
Pak Mardi: Repot apa dik?

Kemudian mereka pun berangkat ke musholla untuk sholat subuh berjamaah.

Dan keesokan harinya, pada jam 3 pagi, pintu saya sudah diketuk oleh Bu Mardi. Kamar kos saya dan Widi ada di bagian belakang rumah, di bagian yang sebenarnya adalah halaman belakang rumah Bu Mardi. Di depan kamar Widi ada pohon mangga yang biasanya kami makan codotannya. Pagi itu, Bu Mardi datang membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya. Beliau masih memakai mukena, mungkin baru selesai sholat malam.

Di hari-hari selanjutnya, ada kalanya saya makan di ruang makan utamar rumah Bapak dan Ibu Mardi. Kadang kami berbincang bermacam-macam. Biasanya kami sambil menonton Tafsir Al-Misbach bersama KH Quraisy Shihab yang di sela-selanya terkadang ada Ustadz Jeffry menyanyi sambil mengenakan baju kokonya yang beberapa tahun kemudian menjadi tren busana muslim baik di perkotaan maupun di pedesaan. Praktis selama puasa itu dan puasa tahun depannya, saya tidak pernah lagi harus keluar rumah untuk membeli sahur. Dan yang lebih berarti adalah, kami bisa berbicara tentang banyak hal dan semakin mengenal pasangan Pak Mardi dan Bu Mardi.

Dua tahun sejak puasa pertama itu, ketika saya sudah meninggalkan Kediri untuk kembali tinggal di Malang menjelang kelahiran anak saya, saya mendengar kabar duka bahwa Bu Mardi kecelakaan saat berangkat kerja. Beliau meninggal di tempat kejadian. Saya selalu membayangkan betapa sepinya Pak Mardi sejak saat itu. Mereka bukan pasangan yang ramai. Pak Mardi tidak pernah banyak bicara. Betapa semakin sepinya rumah di Singonegaran Gang 1 itu. Dan kini, ketika mengingat Kediri dengan berbagai suka-dukanya bersama kawan-kawan saya di EF dan murid-murid saya yang sebagian sudah menyebar ke mana-mana dan bermacam-macam profesinya itu, saya masih sering terbayang makan di ruang tamu Bapak dan Ibu Mardi sambil menonton Ustad Jeffry menyanyi.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *