Urban Hiking di Jakarta: Menjawab Penasaran Menjelang Laga Indonesia-China

Kembali datang kesempatan ke Jakarta itu. Biasanya setahun kurang lebih hanya 2-3 kali ke Jakarta. Kali ini untuk tujuan mengikuti sebuah konferensi linguistik: fokus tim penelitianku adalah fenomena bahasa Jawa di era kontemporer. Yang ini detailnya lain kali saja kita bicarakan. Yang penting untuk aku ceritakan hari ini adalah kesan orang daerah terhadap ibukota, yang tetap menjadi misteri buatku.

Pemahamanku tentang Jakarta terlalu dimediasi oleh berita dan cerita. Mana yang lebih dulu memediasi aku dengan metropolitan yang satu ini–tentu aku tidak ingat. Sedari kecil, aku kenal kota ini sebagai pusat pemerintahan Indonesia, tempatnya Pak Soeharto yang muncul di berita-berita. Jakarta adalah tempatnya Warkop DKI yang suka menggambarkan ringan dan santainya hidup di ibukota. Kota ini adalah juga tempatnya berita-berita investigasi di TV swasta yang menceritakan tentang gorengan dicampur plastik, daging sapi glonggongan, dll.

Tentu itu semua juga ditemani ketakjuban-ketakjuban masa kecil. Yang pertama tentu lagu yang mungkin aku kenal sejak bayi: “Jeng jing kapal udara, numpak sepur mudun Jakarta, Jakarta akeh lamuke, tukang becak akeh duike.” Ya, kata lagu itu, “Jakarta banyak nyamuknya.” Ada juga cerita tentang teman-teman ayahku anggota koperasi korpri yang setelah pulang dari rekreasi ke Jakarta menyatakan bahwa di ibu kota ini mereka makan sayur dengan jagung kecil diiris-iris (yang belakangan aku kenal dengan sebutan baby corn buat capcay itu–kami dulu nggak pernah punya baby corn di Pasar Krembung).

Makanya, setiap kali ada kesempatan mengunjungi kotanya Bang Doel ini, aku selalu ingin tahu seperti apa kehidupan Jakarta itu selain dunia pekerjaan yang berhenti di kantor atau hotel-hotel tempat kegiatan yang aku ikuti. Dan jalan pagi (yang aku suka sebut stacardio) adalah cara paling simpel mengenal Betawi. Dari situ aku bisa ke kampung-kampung, pasar pagi, halte-halte, jembatan penyeberangan, dan warung-warung (termasuk toko Madura). Semuanya demi kebugaran, dan menjawab penasaran.

Mengenal SCBD, Jantungnya Jakarta

Kegiatan kemarin, di kawasan Semanggi, adalah kegiatanku yang paling dekat dengan jantung kesibukan si Mama Kota, yaitu Jl. Gatot Subroto, Jl. Thamrin-Jl. Soedirman (seperti kata Melissa dan Kak Seto) dan Senayan. Tentu kesempatan ini tidak bisa begitu saja dilewatkan. Ada banyak yang pastinya bisa dimanfaatkan dari kesempatan ini. Karena itulah jalan pagi harus dilaksanakan sepagi mungkin demi mengoptimalkan kesempatannya.

Aku meninggalkan kamar hotel di belakang kampus Universitas Atma Jaya Semanggi pada pukul 5.05 WIB. Di depan lobi hotel, terlihat langit masih gelap dan lampu-lampu dari kamar hotel dan taman masih menyala terang. Tujuan pertamaku adalah SCBD Park. Sebagai orang Malang, aku memandang SCBD tak ubahnya Wall Street. Mumpung ada kesempatan, aku perlu lihat seperti apa SCBD menggelar hari.

Aslinya lebih gelap dari ini, tapi entah kenapa di HP kelihatan lebih terang.

Dalam perjalanan ke kawasan SCBD, ada beberapa daerah saja yang gelap. Mungkin di bagian itu lampu jalan sudah dimatikan sementara langit belum benar-benar terang. Warung-warung makan dan parkiran motor mulai terlihat menggeliat. Beberapa warung tampaknya buka sepanjang malam. Karena perlu menyeberangi Jl. Gatot Subroto, tujuan pertamaku adalah jembatan penyeberangan. Dari kejauhan sudah terlihat satu dua orang berjalan pelan menaiki ramp menuju lift prioritas.

Ketika sampai di dekat penyeberangan, ada dua perempuan muda yang siap memasuki lift prioritas. Sekalian saja aku bergabung dengan mereka. Di atas, mereka ternyata menuju jalur masuk Transjakarta. Aku lanjut terus hingga menyeberangi Jl. Gatot Subroto dan Jl. Tol Grogol-Cawang. Di satu sudut jembatan penyeberangan, terdapat tumpukan wadah plastik berisi kue basah dan gorengan yang masih terbungkus tas kresek besar. Sepertinya ini kue-kue basah dan gorengan yang akan dijual para pedagang yang ada di kawasan itu.

Di antara celah jaring kawat pengaman jembatan.

Langit tidak segelap ketika aku tinggalkan hotel, tetapi tentu masih belum juga terang. Di pinggiran jalan Gatot Subroto itu tampak satu dua orang yang berjalan atau duduk sendiri di bangku jalan. Seorang pemuda awal 20-an tahun turun dari motor dan salim dengan seorang lelaki yang mungkin bapaknya. Di Jl. SCBD, sesekali tampak mobil dan sepeda motor berbarengan menuju kawasan bisnis yang reputasinya mulai banyak didengar di seluruh Indonesia ini. Tujuanku adalah taman SCBD yang tampak di Google Maps.

Jalanan kecil yang meliuk-liuk rapi dengan persimpangan-persimpangan indah itu terlihat menyenangkan sekali di antara gedung-gedung perkasa dengan nama-nama yang sering muncul di sosial media. Mungkin ini kawasan yang bisa dibilang sebagai contoh ekstrim keberhasilan pembangunan di Indonesia. Gedung-gedung berasitektur unik, taman-taman yang terawat dan terkonsep, trotoar yang menyamankan pejalan, persimpangan dengan lampu lalu lintas yang dilengkapi juga lampu petunjuk buat pejalan kaki–semua ini terasa mewah, terasa berbeda dengan banyak daerah.

Semua yang kita harapkan dari pusat kota metropolitan terkini.

Sebenarnya, kalau kita ingin belajar tentang kawasan kota yang bisa memberikan kenyamanan yang maksimal, SCBD adalah kawasan yang bisa dijadikan tujuan studi banding. Tidak perlu lah sampai pergi ke luar negeri.

Ketika tiba di kawasan SCBD Park, melihat sekeliling menatap gedung-gedung yang kokoh, melihat nama-nama brand besar, melihat para awak security yang berjaga di depan beer park, sake bar, atau hotel dan restoran yang belum bangun itu–sempat sekilas aku merasa berada di Manhattan seperti 10 tahun yang lalu. Mestinya kita merasa kecil dan ngeri di hadapan bangunan yang besar dan looming seperti itu. Tapi bukan itu yang kurasakan. Justru yang ada hanya gumun dan tak habis pikir.

Mungkin ini kondisi yang ingin digambarkan dalam adegan-adegan film era 80-an dengan kondisi ketika orang-orang daerah pertama kali ke megapolitan ini. Sepertinya gambaran ketakjuban itu tidak didukung dengan sinematografi yang memadai. Atau mungkin memang ketakjuban itu tidak mudah digambarkan–seperti halnya tidak mudah mendeskripsikan ketakjuban kita ketika berada di hadapan Grand Canyon yang menganga buas seperti bisa memakan apa saja yang kita umpankan. Di kondisi-kondisi semacam ini aku selalu teringat lagi ajaran lawas: ojo dumeh, ojo gumunan, atau “jangan sombong, jangan mudah takjub.”

Gagal Jogging di GBK

Jalan pagi berlanjut karena aku memang ingin ke GBK. Setahun sebelumnya, aku pertama kali mengunjungi GBK pada tahun lalu bersama Pak Hendy, seorang penerjemah senior (sebut saja “legend”). Ketika itu kami mengikuti kegiatan dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sebagai penelaah penerjemahan buku anak. Pada hari terakhir kegiatan, Pak Hendy mengajakku lari pagi ke GBK. Ternyata memang se-hype itu lari pagi di GBK. Banyak pekerja kantoran di SCBD dan Senayan pada umumnya yang mengawali pagi dengan olahraga di GBK sebelum kemudian bekerja. Kali ini, karena memang hanya berjarak sekitar 3 km dari hotel, aku ingin melanjutkan ke sana dan keliling GBK barang satu-dua kali.

Ada yang jogging, ada yang membantu bahan posting.

Di jalan menuju kaldron api GBK terdapat tenda-tenda bazaar dan pekerja (berseragam T-shirt hitam) yang tiduran beralas karpet. Aku menduga mereka kelelahan bekerja pada malam harinya dan tidak sempat pulang karena harus melanjutkan dengan hari ini. Tampaknya memang akan atau sedang ada bazaar di GBK. Menjelang kaldron api, terdapat pagar-pagar besi yang dibuat seperti loket tapi berjajar banyak.

Salah satu pintu bisa diakses dan aku bisa melanjutkan perjalanan menuju kaldron api yang pola gelombangnya mengingatkan pada pola dekoratif desain yang banyak dipakai di canva. Stadion GBK terlihat semakin jelas dan menjulang. Banyak banner bergambar para pemain bola timnas. Aku cuma takjub kenapa tidak ada orang jogging di jogging track sekeliling stadion. Hanya ada sepasang laki-laki perempuan di depanku. Dan orang-orang lain sepertinya jogging menjauh dari stadion.

Pagar tertutup.

Ketika waktunya sampai di jogging track, barulah aku sadar bahwa kawasan ini dipagari dan tidak bias diakses. Ada satu dua orang yang sibuk dengan ini itu dan kendaraan kerja di kawasan jogging track, tapi tidak jelas dari mana mereka masuk ke sana. Di situlah aku mulai sadar bahwa inilah hari ketika Tim Garuda akan berlaga melawan timnas Tiongkok. Wajar saja banyak gerbang dan pagar dipasang. Kalau di Fayetteville parkiran harus steril 12 jam sebelum pertandingan futbol antar kampus di North Eastern Conference, maka wajarlah kalau GBK sudah steril mungkin 24 jam sebelumnya sebelum laga antar Indonesia-Tiongkok.

Aku coba mencari jalan untuk setidaknya bisa memutari stadion dari luar pagar. Sayangnya, belum juga setengah lingkaran aku berjalan tidak ada lagi celah untuk bisa mengelilingi stadion di luar jogging track. Akhirnya putuskan untuk kembali ke hotel. Hari sudah terang sepenuhnya tanpa sinar matahari. Ketika menjauhi stadion, masih di kawasan GBK, kembali terlihat orang-orang yang jogging. Di tepi hutan GBK, lagu “Bangun Pemudi-Pemuda” berkumandang dari speaker yang tersebar di seluruh lokasi pada tiang-tiang lampu. Rasanya unik sekali… berada di tempat yang diberi nama salah satu proklamator, menjelang laga antar negara, dan lagu perjuangan berkumandang. Terasa vibe yang membuat kita menyingsingkan lengan baju untuk negara.

Menerangi Blindspot, Menyemai Penasaran

Aku berjalan pulang lewat jalur yang berbeda. Kali ini aku tidak lagi lewat sisi lain Jalan Gatot Subroto dan kemudian masuk ke Sentra BRI. Aku ikut masuk kawasan Sentra BRI bersama para pekerja yang mulai berdatangan dari arah belakang setelah meninggalkan warung-warung makan yang sudah mulai buka dengan soto, bubur, ayam goreng, burger, gorengan, dan lain-lain. Satu dua orang yang datang terlihat masih lesu, tapi tidak sedikit juga yang berjalan bergegas seperti siap merebut semua peluang yang datang. Setelah melewati bagian tengah kawasan, aku mulai berpapasan dengan orang-orang yang masuk dari pintu masuk di Jl. Soedirman. Inilah saatnya orang yang keringetan pakai baju olahraga bertemu dengan orang-orang yang siap bekerja.

Kawasan Sentra BRI yang permai.

Selepas Sentra BRI, perjalanan mudah saja untuk menuju ke kawasan kampus Universitas Atma Jaya dan kemudian balik ke hotel tempatku menginap. Kali ini jalan pagiku (dengan sedikit bagian lari untuk sekadar memompa jantung) terasa sangat kaya. Banyak sekali yang bisa dipikirkan. Banyak hal yang membuat takjub. Ada blindspot tentang kota raksasa ini yang dari kecil menghantui mulai terhapus. Tapi makin banyak misteri bekas Batavia ini yang mulai muncul.

Aku yakin hal-hal yang membuat penasaran akan terus ada selama aku tidak benar-benar menjadi bagian dari sesuatu. Selama aku hanya menjadi tamu bagi Jakarta, selamanya aku akan dipenuhi penasaran akan ini dan itu di Jakarta. Jalan pagi, jogging, urban hiking, atau apa pun aku menyebutnya adalah satu dari berbagai cara untuk mengobati penasaran itu. Sayangnya dia juga menjadi persemaian buat penasaran-penasaran yang lain.

More From Author

Resensi Film – Pantaskah Aku Berhijab

Ketika baru lihat judulnya, saya seolah tahu apa maunya film Pantaskah Aku Berhijab (2024). Sempat…

Mindfulness, Slow Living, Ini-Itu Musik Analog

Apa benar mendengarkan itu hanya urusan membuka kuping? Apa benar hanya dengan membuka kuping kita…

The Architecture of Love, Ketika Komedi Romantik Kembali Bertunas

Setiap industri perfilman punya masanya sendiri-sendiri. Bagi Hollywood, tampaknya komedi romantik sudah kembang kempis, tidak…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *